KUALITAS
PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan. Ini dibuktikan dengan adanya data UNESCO (2000) tentang
peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,kesehatan,dan penghasilan per
kepala yang menunjukkan,bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Dari 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102
(1996), ke- 99 (1997), ke-105
(!998), dank e-109 (1999). Menurut survey Political and Economic Risk
Consultant (PERC), kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke-12 dari
12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang
dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),Indonesia memiliki daya saing
yang rendah,yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di
dunia. Nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,baik pendidikan formal maupun
informal. Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Adapun
permasalahan khusus dalam dunia pendidikan nasional yang di prioritaskan
pengulangannya adalah masalah pemerataan pandidikan, mutu pendidikan, relevansi
dan efisiensi pendidikan.
Dewasa ini upaya peningkatan mutu pendidikan terus
dilakukan oleh berbagai pihak dan pendekatan. Upaya-upaya tersebut dilandasi
suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber
daya manusia dan kemajuan masyarakat dan bangsa. Dalam konteks bangsa
Indonesia,peningkatan mutu pendidikan nasional merupakan bagian integral dari
upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.
B. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Tujuan
penulisan adalah untuk mengetahui masalah-masalah apap saja yang terjadi pada
pendidikan di Indonesia yang dilihat dari kualitas pendidikannya semakin hari
semakin menurun.
2. Manfaat
Dari
penulisan ini diharapkan mendatangkan berupa penambahan pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang
keadaan pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara
bersama agar pendidikan di masa yang akan datang dapat meningkat,baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Sebelum kita membahas permasalahan-permasalahan pendidikan
di Indonesia,sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri
terlebih dahulu.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitas atau mutu adalah baik buruk suatu benda,kadar,taraf
atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya. Secara umum
kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh yang mengandung makna
derajat (tingkat keunggulan suatu produk,hasil kerja/upaya) dari suatu barang
atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
diharapkan, baik yang tangible atau intangible. Mutu yang tangible artinya dapat diamati dan
dilihat dalam bentuk kualitas suatu benda atau dalam bentuk kegiatan dan
perilaku.
Misalnya
televisi yang bermutu karena mempunyai daya tahan (tidak cepat rusak),warna
gambarnya jelas,suara terdengar bagus atau perilaku yang menarik dan
sebagainya.
Sedangkan
mutu yang intangible adalah suatu kualitas yang tidak dapat
langsung di lihat atau diamati, tetapi dapat dirasakan dan dialami, misalnya
suasana disiplin, keakraban, kebersihan dan sebagainya.
Pendidikan berasal dari kata didik (mendidik),yang
berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran,pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian, yaitu daya upaya
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang guna mendewasakan
manusia, memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan,batin,karakter),pikiran (intelektual) melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perbuatan, cara mendidik. Sehingga dapat diwujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara. Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan
martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya
dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi
insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu
memperbaharui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak
tercabut dari akar tradisnya.
Kualitas pendidikan dapat dilihat dalam dua
hal,yakni mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses
pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat dalam
proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah
berbagai input, seperti bahan ajar, metodologi, sarana sekolah, dukungan
administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan
suasana yang kondusif. Sedangkan mutu pendidikan dalam konteks hasil pendidikan
mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu
tertentu.
Hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis
(misalnya ulangan umum,ujian akhir sekolah,dan ujian nasional). Dapat pula di
bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olahraga, seni atau keterampilan
tambahan tertentu misalnya computer, beragam jenis teknik, jasa dan sebagainya.
Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak data dipegang
(intangible) seperti suasana belajar,
disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya
di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan
sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya
mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari
kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan
kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Fakta Mendasar Mengenai Masalah Kualitas
Pendidikan
Dalam
era globalisasi saat ini,pendidikan bermutu merupakan suatu keharusan. Namun
dunia pendidikan di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Seringkali
pendidikan tidak memanusiakan manusia,kenyataannya kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh system yang ada.
Masalah pertama adalah
bahwa pendidikan,khususnya di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Istilah
tersebut memberi suatu pengertian bahawa pendidikan yang diberikan ternyata
berat sebelah,dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbakan keutuhan,kurang
seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku yang merasa
(afektif). Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika sedang
belajar,maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegitan, seperti mengamati, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Namun
hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid.
Masalah kedua Masalah kedua adalah system pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah). Sistem pendidikan
ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagau pengisi dan muruid sebagai diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box,dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan pengetahuan tersebut
tinggal di ambil saja. Murid hanya menampung saja apa yang disampaikan guru.
Apalagi tidak sedikit guru yang menerapkan metode ceramah.
Jadi hubungan guru sebagai subjek
dan murid sebagai objek. Model pendidikan ini tidak membebaskan gaya bank,
pengetahuan merupakan suatu anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap
dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan
apa-apa.
Masalah yang ketiga,dari model
pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap
untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamnnya.
Manusia sebagai objek merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan
visi humanisasi,menyebabkan manusia tercabut dari akar-akar budayanya. Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimanan kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu stategi pendidikan di
Indonesia harus terlebur dalam “stategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah
berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi,social,budaya bahkan politik Internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat,melainkan
hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Berikut adalah beberapa fakta
terkini mengenai masalah pendidikan di
Indonesia:
Setiap
Menit, Empat Anak Putus Sekolah
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report
yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat
indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara
dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Banyak factor yang
mempengaruhi tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Namun factor paling
umum yang dijumpai adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak
dapat melanjutkan pendidikan dasar. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3
juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah.
54%
Guru di Indonesia Tidak Memiliki Kualifikasi yang Cukup untuk Mengajar
Guru merupakan ujung
tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan,dimana guru akan melakukan
interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas.
Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas
pendidikan.Artinya,secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas. Kualitas guru di
Indonesia secara keseluruhan memang belum merata,secara distribusi dan mutu
pada umumnya masih rendah. Banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin
ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup memprihatinkan,dengan presentase
lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data
Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat
perhatian,lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tudak dapat melanjutkan sekolah.
Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54%
guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingktkan dan 13,9% bangunan
sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.
34% Sekolah di Indonesia Kekurangan Guru
Distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan
kekuranagn Guru. 37% sekolah di pedesaan kekurangan Guru.66% sekolah di daerah
terpencil kekuranagn Guru dan 34% sekolah di Indonesia kekurangan guru.
Sementara di banyak daerah terjadi kelebihan Guru terutama di daerah perkotaan.
Sumber:Teacher
Employment & Deployment,World Bank 2007
B. Kualitas
Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari
kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang
sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut,
tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin
terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah
terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang
terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja.
Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah. Ada dua faktor yang
nmempengaruhi kualitas pendidikan,khususnya di Indonesia yaitu: -faktor internal: meliputi jajaran
dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan
Daerah dan sebagainya. Interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
-faktor
eksternal: adalah masyarakat pada umumnya. Dimana masyarakat merupakan icon
pendidikan yaitu sebagai objek pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di
Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik
misalnya,banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya
rusak,kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
desebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran,menilai hasilpembelajaran, melakukan
pembimbingan,melakukan pelatiahan,melakukan penelitian dan melakukan pengabdian
masyarakat. Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup
memadai,namun secara kualitas mutu guru di negara ini pada umumnya masih
rendah.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Dengan pendapatan rendah,terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain.memberi les pada sore hari
dan sebagainnya.
Denagan adanya UU Guru
dan Dosen,barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Tapi,kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri masalah lain yang muncul.
Di lingkungan pendidikan swasta,masalah kesejahteraan masih sulit mencapai
taraf ideal.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang
demikian (rendahnya sarana fisik,kualitas guru,dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat
rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),
siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini preatasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United
Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi
tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya
yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini
Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding
dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam
skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
5. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih
rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya
Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur.
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak mamiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
C.
Solusi Mengatasi Rendahnya Kualitas Pendidikan
Indonesia
Untuk mengatasi
masalah-masalah, sepert yang dijelaskan kualitas sarana fisik, rendahnya
kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas,secara aris
besar ada dua solusi yaitu:
- Solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi
yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
- Solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan
kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Menurut pemikiran
UNESCO dalam program MDG’s bidang pendidikan mencanangkan 4 Pilar Pendidikan
sekarang dan masa depan yaitu :
1. Learning to
Know
Untuk mengimplementasikan “learning
to know” (belajar untuk mengetahui),guru harus mampu menempatkan dirinya
sebagai fasilitator. Disamping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai
kawan bergialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan
siswa. Jadi metode ceramah yang banyak dilakukan oleh guru saat mengajar akan
semakin minim.
2. Learning to
Do
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar seyogyanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan
yang dimiliki,serta bakat dan minatnya agar tingkat kreatifitas peserta didik
semakin meningkat,dan agar “learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu)
dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak
d ipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat
juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata
3. Learning
to Be
Pilar ketiga yang
dicanangkan UNESCO adalah “Learning to be” (belajar
untuk menjadi seseorang). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat,
minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi
lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya
bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa
yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi
fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa
secara utuh dan maksimal.
4. Learning to
Live Together
Terjadinya proses “Learning
to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama),
pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka,
memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang
memungkinkan tumbuhnya sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Banyak sekali factor
yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya
kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan
pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi
masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia
adalah sistem pendidikan di Indonesia itu
sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan
dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman
dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja
sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar