Kualitas Pendidikan di
Indonesia Masih Rendah
Para relawan menulis di wahana Surat Semangat. Dalam wahana ini mereka
menuliskan surat untuk menyemangati Kepala Sekolah dan guru seluruh Indonesia
agar tetap berjuang mendidik murid-muridnya. (sumber: Beritasatu.com/Mahesa
Bismo)
Jakarta - Pemerintah harus bisa meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Jika
kualitas pendidikan dan SDM sudah mumpuni, maka Indonesia berpeluang menjadi
basis produksi dan menguasai pasar Asean Economic Community (AEC) 2015.
Demikian yang dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (Bappenas), Subandi Sardjoko.
Ia mengatakan, berdasarkan data United Nations Development Program (UNDP)
2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 124 dari 187
negara yang disurvei dengan indeks 0,67 persen. Sedangkan Singapura dan
Malaysia mempunyai indeks yang jauh lebih tinggi yaitu 0,83 persen dan 0,86
persen.
Menurut Subandi, Indeks tingkat pendidikan tinggi Indonesia juga dinilai
masih rendah yaitu 14,6 persen, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang
sudah mempunyai indeks tingkat pendidikan yang lebih baik yaitu 28 persen dan
33 persen.
Dia mengatakan, masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, akan
melemahkan daya saing Indonesia dalam menghadapi masyarakat ekonomi Asean 2015.
Oleh sebab itu, lanjut Subandi, kunci untuk meningkatkan daya saing Indonesia,
dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan melakukan terobosan terbaru dalam
sektor pendidikan.
Sebenarnya, kata Subandi, kualitas SDM di Indonesia sudah cukup bagus.
Tinggal bagaimana cara pemerintah dan Perguruan Tinggi mengasah SDM tersebut
menjadi SDM yang hebat. Jika kolaborasi pemerintah dan perguruan tinggi sudah kuat, maka Indonesia akan mencetak SDM terbaik setiap
tahunnya.
"Meningkatkan Kualitas SDM dengan cara
meningkatkan kualitas pendidikan adalah solusi tepat yang harus dilakukan agar
Indonesia berpeluang menguasai AEC 2015," ujar Subandi saat ditemui dalam
acara Pembukaan Pameran Pendidikan Tinggi Uni Eropa (European Higher
Education Fair) di Hotel Grand Sahid Jaya, Sabtu (12/10).
Dia menjelaskan, saat ini pemerintah mempunyai program wajib belajar
sembilan tahun. Menurut Subandi, program tersebut akan terus dipertahankan
karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan kualitas
kurikulum pendidikan, baik itu di sekolah sekolah maupun perguruan tinggi. Tak
hanya itu, lanjut dia, kurikulum yang digunakan haruslah bersifat world
update dimana kurikulum tersebut harus mengikuti perkembangan dunia.
Labih dari itu, Subandi menuturkan, dosen, guru dan tenaga pengajar juga
menjadi prioritas pemerintah untuk ditingkatkan kualitasnya. "Kami akan
selalu support dosen atau guru yang ingin melanjutkan sekolah mereka ke luar
negeri dengan memberikan beasiswa. Jika kualitas dosen dan guru baik, maka akan
mempengaruhi kualitas anak didiknya," ujar dia
7 Penyebab Kualitas Pendidikan di Indonesia Rendah –
Satuan pendidikan di Indonesia, mulai tahap SD hingga
SMA, dianggap masih lemah dalam banyak hal dibanding negara lain. Mulai dari
sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan serta kompetensi para
lulusannya.
“Di tingkat SD/MI/SMP dan SMA hampir semua sekolah yang terakreditasi
memiliki titik lemah pada standar kelulusan, standar sarana dan prasana dan
tenaga pendidik dan kependidikan,” tutur
Ketua BAN-S/M, Abdul Mukti, dalam konferensi pers mengenai Analisa Hasil
Akreditasi 2008-2012, di Badan Akreditasi Nasional Sekolah, di Gedung
Mandikdasmen Kemdikbud, Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu (26/12). Ini ada tujuh penyebab kenapa
mutu pendidikan di Indonesia berkurang
1. Pembelajaran hanya pada buku paket
Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP.
Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun
adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? Tidak, karena
pembelajaran di sekolah sejak zaman dulu masih memakai kurikulum buku paket.
Sejak era 60-70an, pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah
yang menjadi acuan dan guru tidak mencari sumber referensi lain.
2. Mengajar Satu Arah
Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu
metode berceramah satu arah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa
modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit. Metode ceramah menjadi
metode terbanyak yang dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang
benar-benar dikuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak
berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya
melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa
seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya?
3. Kurangnya Sarana Belajar
Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang
cukup. Masih banyak sarana belajar di beberapa sekolah khususnya daerah,
tertinggal jauh dibandingkan sarana belajar di sekolah-sekolah yang berada di
kota.
4. Aturan yang Mengikat
Ini tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah seharusnya memiliki
kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya.
5. Guru tak Menanamkan Diskusi Dua Arah
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan.
Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan.
seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi
sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan
cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya
tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan,
untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa
tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai
mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang
bertanya biasanya anak-anak itu saja.
6. Metode Pertanyaan Terbuka tak Dipakai
Contoh negara yang menggunakan pertanyaan terbuka adalah Finlandia.
Dalam setiap ujian, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Guru
Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka.
7. Budaya Mencontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi apakah kita tahu kalau “guru
juga menyontek” ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes
pegawai negeri yang diikuti guru, menyontek telah menjadi budaya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar